Nama             : Dicky Putra Sadewa 
Kelas             : 2EB10
NPM             : 23214044
Kelompok K : Anti Monopoli

 Kata “ monopoli “ berasal dari kata Yunani yang berarti “ penjual tunggal “. Disamping itu istilah monopoli sering disebut juga “Antitrust” untuk pengertian yang sepandan dengan istilah “ antimonopoli “ atau istilah “dominasi” yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang artinya sepadan dengan arti istilah “ monopoli “ dikekuatan pasar. Dalam praktek keempat istilah tersebut yaitu istilah monopoli, antitrust, kekuatan pasar dan istilah dominasi saling ditukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi atau produk subtitusi yang potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.

   C.      Azas dan Tujuan
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
  1.      Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2.      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
  3.      Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4.      Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

   D.      Kegiatan yang dilarang
Kegiatan-kegiatan yang Dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat juga dilarang Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berikut kegiatan-kegiatan yang dimaksud:
  1.      Penguasaan atas produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa (kegiatan monopoli). Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
  a.       Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; 
  b.      Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
  c.       Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
 2.      Penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan (kegiatan monopsoni).
  3.      Penolakan atau penghalangaan pengusaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan,penghalangan konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pengusaha pesaing pembatasan peredaran atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan, praktik monopoli terhadap pengusaha tertentu, jual rugi atau penetapan harga yang sangat rendah untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya dipasar yang bersangkutan, dan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa (kegiatan pengusaha pasar).
  4.      Persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang tender dan/atau untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklafikasikan sebagai rahasia perusahaan dan/atau menghambat produksi dn/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok dipasar yang bersangkutan menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketetapan waktu yang dipersyaratkan (kegiatan persekongkolan).
   5.      Posisi Dominan
Posisi dominan dapat pula mengakibatkan terjadinya peraktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kerena itu, posisi dominan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25-29 Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Peraingan Usaha Tidak Sehat juga dilarang.
Dalam ketentuan Pasal 25 Ayat 2 Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga dilarang ditentukan bahwa pelaku usaha memilki potensi dominan apabila memenuhi kreteria dibawah ini:
  a.     Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan/atau jasa tertentu.
  b.     Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan/atau jasa tertentu.
Posisi dominan bisa timbul melalui hal-hal berikut ini:
   a.       Jabatan rangkap pada lebih satu perusahan dalam pasar bersangkutan yang sama atau memilki keterkaitan yang erat dalam bidang dan jenis usaha atau secara bersama-sama menguasai pangsa pasar produk tertentu (pasal 26).
   b.      Pemilikan saham mayoritas pada perusahaan sejenis dengan bidang usaha yang sama dan pasar yang sama. (pasar 27)
   c.       Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan. (pasal 28-29)
    E.       Perjanjian yang dilarang
  1.      Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
   2.      Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
  a.      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
  b.     Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
  c.      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
  d.     Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
   3.      Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
   4.      Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
   5.      Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
   6.      Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa. 

7.      Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
   8.      Integrasi vertical
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
   9.      Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
  10.  Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
    F.       Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan, yaitu:
  1. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
  3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
  4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
  5. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
  6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
  7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
  8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
  9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
  10. Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
     G.        Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana.
Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam  Pasal 49.
   1.      Pasal 48
   a.       Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
   b.      Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
   c.       Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
   2.      Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
   a.       pencabutan izin usaha; atau
   b.      larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
   c.       penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
    H.      Kesimpulan
Telah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam ketentuan pasal 1 dijelaskan monopoli adalah penguasaan atas produksi atau pamasaran barang atau penggunaan jasa tetentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok satu usaha.
Sedangkan tujuan dan pembentukan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah:
  1.     Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meninggkatkan kesejahteraan rakyat.
  2.     Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha kecil, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha besar.
  3.     Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4.     Terciptanya efektivitas dan efesiensi dalam kegiatan usaha (pasal 3).

DAFTAR PUSTAKA

           Karim, Adiwarman. Ekonomi mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
           Kian Gie, Kwik. Hukum Bisnis untuk perusahaan. Jakarta: PT. Kencana.2005
           Boediono. Ekonomi Mikro. Yogyakarta:BPFE-Yogyakarta. 1986.