Semangat untuk mewujudkan Good Corporate Governance
memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan akademisi maupun praktisi
baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai perangkat pendukung
terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola yang baik sudah di
stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU Perbankan, UU Pasar Modal,
Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha, Komite Corporate
Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat suatu aturan agar
tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata kelola secara baik
oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim manajemennya.
Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan
seperti komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko,
dan sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan
efektivitas “Board Governance”. Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk
membentuk komite audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan
pengendalian dan pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan
tujuan organisasi. Sementara itu, sekretaris perusahaan merupakan struktur
pembantu dewan direksi untuk menyikapi berbagai tuntutan atau harapan dari
berbagai pihak eksternal perusahaan seperti investor agar supaya pencapaian
tujuan perusahaan tidak terganggu baik dalam perspektif waktu pencapaian tujuan
ataupun kualitas target yang ingin dicapai. Meskipun belum maksimal, Uji
Kelayakan dan Kemampuan (fit and proper test) yang dilakukan oleh pemerintah
untuk memilih top pimpinan suatu perusahaan BUMN adalah bagian yang tak
terpisahkan dari kebutuhan untuk membangun “Board Governance” yang baik
sehingga implementasi Good Corporate Governance akan menjadi lebih mudah dan
cepat.
Membangun entitas korporasi dan menetapkan sasarannya.
Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis
secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran
bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders)
maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini
diharapkan etika dapat menjadi hati nurani dalam proses bisnis sehingga
diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya
sekadar mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup,
masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Selain itu dalam mengembangkan struktur etika
korporasi, suatu perusahaan harus memiliki good corporate governance. Latar belakang
munculnya good corporate governance atau dikenal dengan nama tata kelola
perusahaan yang baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak semata-mata
karena adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun dilatarbelakangi oleh
maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel
Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang
dari sesuatu yang relatif tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat
dominan.
Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke
dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi
penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh
tersebut. Sebagai akibat adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan
besar yang mana mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan
para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun
2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia,
disamping juga menyebabkan krisis global di beberapa belahan negara dunia.
Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah Amerika
mengeluarkan Sarbanes Oxley Acttahun 2002 yang berisikan penataan kembali
akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap
investor.
Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal
dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara. Konsep GCG belakangan
ini makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG memperjelas dan
mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu
organisasi yang mencakup (a) hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan
perlindungannya, (b) peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders) lainnya, (c) pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat
waktu, (d) transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan, (e)
tanggung jawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri,
kepada para pemegang saham dan pihak lain yang berkrpentingan.
Pada awalnya, istilah “Corporate Governance” pertama
kali dikenalkan oleh Cadbury Committee di Inggris tahun 1922 yang menggunakan
istilah dimaksud dalam laporannya yang dikenal dengan Cadbury Report. Berikut
disajikan beberapa definisi “Corporate Governance” dari beberapa sumber,
diantaranya:
· Menurut
Cadbury Committee of United Kingdom
“A set of rules that define the relationship between
shareholders, managers, creditors, the goverment, employees, and other internal
and external stakeholders in respect to their right and responsibilities, or
the system by which companies are directed and controlled”.
· Menurut Forum
for Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi
definisi Cadbury Committee of United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan
internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan”.
· Menurut Sukrisno Agoes
Tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem
yang mengatur hubungan peran dewan komisaris, para direksi, pemegang saham, dan
pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut
sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
· Menurut Organization for Econimocs Cooperation and
Development(OECD)
“The structure through which shareholders, directors,
managers, set of the board objectives of the company, the means of attaining
thoseobjectives and monitoring performance”. (Suatu struktur yang terdiriatas
para pemegang saham, direktur, manager, seperangkat tujuan yang ingin dicapai
perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakandalam mencapai tujuan dan memantau
kinerja).
· Menurut
Wahyudi Prakarsa
Mekanisme adninistratif yang mengatur
hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang
saham, dan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) yang lain.
Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan (prosedur)
dan sistem insentif sebagai kerangka kerja (framework) yang diperlukan untuk
mencapai tujuan perusahaan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, serta
pemantauan atas kinerja yang dihasilkan.
Source :
http://yonayoa.blogspot.co.id/2012/10/etika-governance_20.html
Brook, Leonard J. 2004. Business & Profesional
Ethics for Directors, Executives, & Accountans.
South-Western College Publishing.
Duska, Ronald F. dan B.S. Duska. 2005. Accounting
Ethics. Blackwell Publishing.
www.scribd.com/doc/39310150/Sesi-4-Tata-Kelola-Etis-Akuntabilitas
11.49 |
Category:
Ekonomi
|
0
komentar
Comments (0)